Visi tentang mobil yang dapat mengemudi sendiri tanpa campur tangan manusia, yang dikenal sebagai teknologi Autonomous Driving, telah lama menjadi impian global, namun pertanyaannya adalah: kapan inovasi radikal ini akan menjadi kenyataan di jalanan Indonesia? Secara global, banyak produsen besar seperti Tesla, Waymo, dan Nissan telah memamerkan dan bahkan menguji coba armada swakemudi mereka. Di Indonesia sendiri, kemunculan teknologi ini masih berada dalam fase pengembangan dan pengujian terbatas, yang menunjukkan bahwa adopsi massal masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Pada Agustus 2024, sebuah perusahaan di Bandung, PT Teknologi Sahabat Alam (TESA), telah memamerkan prototipe mobil listrik otonom buatan lokal pada acara Indonesia Electric Motor Show (IEMS) 2024. Prototipe ini berfungsi dalam lingkungan terbatas dengan panduan jalur yang telah diprogram, menyoroti bahwa perkembangan teknologi Autonomous Driving di dalam negeri sudah dimulai, meskipun masih pada tingkat otomatisasi Level 2 atau Level 3, yang mana pengemudi tetap harus siap mengambil alih kendali.
Salah satu tantangan terbesar adalah kesiapan infrastruktur dan regulasi. Untuk mencapai level swakemudi penuh (Level 4 atau 5), Indonesia memerlukan investasi besar dalam pembangunan Smart Infrastructure atau infrastruktur pintar. Hal ini mencakup jalan raya yang dilengkapi sensor, marka jalan yang jelas dan konsisten, serta sistem komunikasi Vehicle-to-Everything (V2X) yang terintegrasi. Sementara itu, kondisi lalu lintas yang padat, tidak teratur, dan seringkali didominasi oleh kendaraan roda dua di kota-kota besar seperti Jakarta menjadi hambatan unik yang harus dipecahkan oleh algoritma Autonomous Driving. Algoritma harus mampu menavigasi perilaku mengemudi yang kurang terprediksi dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki disiplin lalu lintas tinggi, sebuah tugas yang jauh lebih kompleks daripada yang dihadapi oleh robotaxi di Austin, Amerika Serikat, misalnya.
Dari segi legalitas, payung hukum yang mengatur pengoperasian mobil swakemudi secara umum masih perlu diperkuat dan diperbarui. Saat ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menjadi dasar utama, namun regulasi ini belum sepenuhnya memadai untuk mengantisipasi implikasi hukum, terutama mengenai penentuan tanggung jawab pidana dan perdata jika terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan sistem swakemudi itu sendiri. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memang telah menetapkan kendaraan otonom sebagai pilar utama sistem transportasi di masa depan, seperti yang ditegaskan oleh Menteri Perhubungan dalam pernyataan resminya pada awal tahun 2024, namun reformasi hukum yang spesifik dan adaptif terhadap teknologi ini masih dalam proses pembahasan dan kolaborasi antar lembaga. Contohnya, perlu adanya regulasi spesifik yang mengatur pengujian kendaraan otonom di jalan umum, yang hingga kini masih sangat terbatas dan terisolasi di beberapa kawasan.
Jika mengacu pada prediksi para analis global dan kecepatan pengembangan infrastruktur, teknologi Autonomous Driving secara komersial dan penuh diperkirakan baru akan tersedia untuk konsumsi publik Indonesia paling cepat dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun mendatang. Model-model yang beredar saat ini, seperti mobil-mobil yang dilengkapi fitur Adaptive Cruise Control atau Lane Keeping Assist, hanyalah Level 2. Sementara itu, adopsi teknologi Level 3 (di mana mobil dapat mengemudi sendiri dalam kondisi tertentu) akan sangat bergantung pada penerbitan regulasi keselamatan dan standar pengujian yang ketat. Proses pengujian ini, yang melibatkan aparat kepolisian lalu lintas dan tim teknis dari Kementerian Perhubungan, akan menjadi fase krusial sebelum teknologi ini benar-benar dilepas ke jalan raya. Oleh karena itu, kita dapat berharap bahwa mobil swakemudi akan mulai marak digunakan dalam skala besar di Indonesia, dimulai dari area terbatas seperti kawasan industri atau bandara, sekitar tahun 2030.